Rabu, 16 Juni 2010
SUMBER POKOK AJARAN ISLAM
A. Sejarah Turunnya Wahyu & Kodifikasinya
Jadi pada saat itu Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadhon atau bertepatan pada tanggal 8 Agustus 610 Masehi kepada nabiMuhammad ketika beliau telah berusia 41 tahun di gua Hiro. Adapun wahyu yang diturunkan saat itu ialah surat Al-Alaq ayat 1-5. Didalam Al-Qur’an terdapat 30 juz 114 surat dan 6.666 ayat.
Nabi Muhammad. Saw dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam -macam cara dan keadaan, di antaranya:
1. Malaikat memasukan wahyu itu kedalam hatinya. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya .Mengenai hal ini Nabi mengatakan : “Ruhul qudus mewahyukan dalam kalbuku .” terdapat dalam QS. Asy : Syuuraa ayat 51
2. Malaikat menampakan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-lakiyang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliaumengetahui danhafal benar akan kata-kata itu .
3. Wahyu datang kepdanya seperti gemerincinya lonceng. Cara inilahYang amat beratdirasakan oleh Nabi.Kadang-kadang pada keningnya ber-Cucuran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena terpaksa amat berat ,bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengedarai unta . Diriwayatkan oleh zaid bin Tsabit : “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada rosululloh, aku lihat rosululloh ketika turunnya wahyu ini seakan-akan diserang oleh demam yang keraas dan keringaaatnya bercucuran seperti permata. kemudian setelah selesai turunnya wahyu barulah beliau kembali seperti biasa. “
4. Malaikat menampakan dirinya pada nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan nomor dua tapi benar-benar seperti rupanya yang asli . Hal ini terdapat dalam Q.S An-Najm : 13 dan 14 yang artinya “ Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain ( kedua ) . Ketika ( Ia barada ) di Sidrotul Muntaha . “
B. Hikmah diturunkanya Al-Qur’an secara berangsur – angsur
Hal ini tidak secara kebetulan, tetapi disengaja oleh Allah dengan banyak hikmahnya. seperti yang terkandung didalam Q.S Al-Isro’/17 : 106 yang artinya “Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur -angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya dari bagian demi bagian“.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah . Adapun hikmah diturunkany Al-Qur’an secara berangsur-angsur ialah:
1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan dan laranggan sekiranya larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhori dari riwayat ‘Aisyah r.a .
2. Diantara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan kemaslahatan. Ini tidak dapat dilakukan sekiiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati .
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang menanyakan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligu, sebagaimana tersebut didalam Q.S Al- Furqon ayat 32 yaitu: “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepada-Nya sekaligus? “Kemudian dijawab dalam ayat itu sendiri “Demikianlah , dengan (cara ) begitu kami hendak menetapkan hatimu”.
5. Diantara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan , Sebagai dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas r.a Hal ini tidak dapat terlaksana jika Al-Qur’an diturunkan sekaligus .
C. Kandungan ayat suci Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitap suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk tidak hanya bagi umat islam tetapi juga bagi seluruh umat manusia . Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi pedoman bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Al-Quran tidak hanya diturunkan untuk suatu umat atau suatu abad, tetapi untuk seluruh umat dan untuk sepanjang masa , karena luas ajaran-ajarannya adalah sama dengan luasnya umat manusia.
Ditegaskan dalam QS. Al-Baqoroh ayat 2,3,4 yang artinya “Kitab (Al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka yang betakwa.(Yaitu ) mereka yang beriman kepada yang ghaib, mereka yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka beriman kepada kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunka kepadaMu & Kitab – kitab yang telah diturun
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan ) akhirat”.
Ayat-ayat tersebut di atas mengandung 5 prinsip yakni ;
1. Percaya kepada yang ghoib
Yaitu Allah SWT dan para Malaikat Nya.
2. Percaya pada wahyu yang diturunkan oleh Allah.
3. Percaya pada adanya akhirat .
4. Mendirikan Shalat .
5. Menafkahkan dari sebagian rezki yang di anugerahkan kepadanya oleh Allah.
Jadi secara umum didalam Al-Qur’an memuat lima kandungan,yaitu mengenai:
1. Perintah dan larangan Allah
2. Memuat hukum-hukum
3. Memuat kabar gembira
4. Memuat janji dan ancaman
5. Semua sejarah Islam
Seperti yang dijelaskan didalam Q.S An-Nisa: 105 “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitap kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat“.
Al-Quran sebagai kitab Allah SWT yang terakhir juga mempunyai keistemewaan, yaitu:
1. Berlaku umum untuk seluruh umat manusia di mana dan kapanpun mereka berada sampai akhir zaman. Hal itu sesuai dengan Risal Nabi Muhammad yang ditujukan untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman nanti. Seperti yang tercantum pada Q.S Al-Furqon 25: 1. Yang artinya: “Mahasuci Allah telah menurunkan Al-Furqon (Al-Quran) kepada hambanya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”
2. Ajaran Al-Quran mencakup seluruh aspek kehidupan (As-Syumul), seperti aspek ekonomi, politik, hukum budaya seta mencakup ruang lingkup kehidupan.
3. Mendapat jaminan pemelihara dari Allah SWT dari segala bentuk penambahan, pengurangan dan pemalsuan, sebagai mana Firman-Nya Q.S Al-Qomar 54: 17 artinya “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Az-Zikra (Al-Quran) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
4. Allah SWT menjadi Al-Quran mudah untuk dipahami, dihafal dan diamalkan.
5. Al-Quran sebagai Nasikh, Muhaimin dan Mushaddiq terhadap Kitab-kitab suci sebelumnya.
D. Fungsi Al Qur’an terhadap kitab- kitab yang lain
Sewaktu Al-Qur’an diturunkan 14 abad yang lalu. Di dunia sudah terdapat banyak agama dan banyak kitab yang dianggap suci oleh para pengikutnya. Di sekitar negara Arab, terdapat orang-orang yang percaya pada kitab perjanjian lama dan perjanjian baru. Banyak orang-orang Arab yang menjadi Kristen/condong ke arah Kristen. Di antara orang Arab itu ada juga yang memeluk agama Yahudi. Di antara yang memeluk agama Yahudi adalah penduduk Madinah sendiri. Seperti Ka’ab bin Asyraf seorang kepala suku di Madinah dan musuh Islam. Di Mekah di samping budak- budak yang beragama kristen juga terdapat orang- orang Mekah yang condong kepada agama Kristen. Waraqah bin Naufal paman dari Khadijah istri pertama Nabi Muhamad saw juga memeluk agama kristen. Ia paham bahasa Ibrani dan menterjamahkan kitab Injil dari bahasa ibrani ke bahasa Arab. Di sebelah ujung lain negri Arab, hiduplah orang-orang Persia yanh juga mempercayai seorang Nabi dan sebuah kitab suci. Sekalipun kitab Zend Avesta telah mengalami perubahan- perubahan oleh tangan manusia, tetapi kitab itu masih dianggap suci oleh beratus ribu pengikutnya dan suatu negri yang kuat menjadi pendukungnya. Adapun di India, maka kitab Weda dipandang suci beribu- ribu tahun lamanya. Di situ ada juga kitab- Gita dari Sri Krishna dan Budha. Agama Kong Hu Cu menguasai negeri Tiongkok, tetapi pengaruh Budha makin hari makin meluas di negri itu. Dengan adanya kitab- kitab yang di anggap suci oleh pengikut-pengikutnya dan ajaran- ajaran itu, apakah dunia ini memerlukan kitab suci lagi? Inilah sebanarnya satu pertanyaan yang ada pada setiap orang yang mempelajari al Qur’an. Jawabannya bisa diberikan dalam beberapa bentuk.
Pertama, apakah adanya berbagai agama itu, tidak menjadi alasan yang cukup untuk datangnya agama yang baru lagi untuk semua? Kedua apakah akal manusia tidak mengalami proses evaluasi sebagaimana badannya? Dan karena evaluasi fisik itu akhirnya mencapai bentuk yang sempurna apakah evaluasi mental dan rohani itu tidak menuju ke arah kesempurnaan yang terakhir, yang sebenarnya merupakan tujuan dari pada adanya manusia itu? Ketiga, apakah agama- agama yang dulu itu dianggap ajaran ajaran yang dibawanya itu ajaran- ajaran yang terakhir? Apakah mereka tidak mengharapkan perkembangan kerohanian yang terus-menerus? Apakah mereka selalu memberitahukan kepada pengikutnya tentang akan datangnya utusan terakhir yang akan menyatukan seluruh umat manusia dan membawa mereka ke arah tujuan yang terakhir?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut di atas adalah merupakan jawaban yang mengharuskan supaya Al Qur’an diturunkan, sekalipun sudah ada kitab-kitab yang dianggap suci oleh umat- umat yang dahulu.
Tetapi sebenarnya di dalam Islam Al-Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelum Al-Qur’an seperti kitab Taurot dan kitab Injil. Seperti disebutkan di dalam Q.S Al-An’am: 92 “dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya (ialah kitab-kitab sebelum Al-Qur’an). Dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Quro (Mekah) dan orang-orang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Qur’an) dan mereka selalu memelihara sholatnya“.
E. Keutuhan dan Keaslian Al-Quran
Perbedaan dengan kitab-kitab suci sebelunnya atau yang lainnya, Al-Quran terjamin Keutuhan dan keasliannya. Hal tersebut bisa terjadi petama dan utama sekali karena adanya jaminan dari Allah SWT, yakni pada Q.S Al-Hijr 15: 9
Kemudian yang kedua karena adanya usaha-usaha yang manusiawi dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW oleh para sahabat di bawah bimbingan Rasulullah SAW dan generasi oleh setiap generasi kemudian. Usaha-usaha yang dilakukan disebut nuktah-nuktah.
Kamis, 27 Mei 2010
RATIONAL EMOTIVE THEORY (RET)
ATAU TEORI RASIONAL EMOTIF
A. Latar Belakang
Teori Rasional Emotif dikembangkan oleh Albert Ellis di Amerika awal tahun 1960-an. Teori Rasional Emosi merupakan sintesis baru dari behaviour therapy, sehingga Ellis juga menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behaviour Therapy atau Comprehensive Therapy. Konsep ini sebenarnya merupakan aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar dari filsafat eksistensialisme.
Dalam perkembangan selanjutnya jejak Ellis diikuti beberapa ahli seperti: R.M. Jurjevich, William S. Sahakian, Don J. Tosi, dan lain-lain.
B. Konsep Dasar
Konsep dasar Rational Emotive Therapy (RET) adalah sebagai berikut:
1. Manusia dilahirkan dengan berbagai kekuatan dan potensi dan untuk kehidupan, yang diantaranya adalah berpikir rasional dan irasional.
2. Pikiran dan emosi adalah dua potensi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Emosi selalu menyertai proses berpikir. Tetapi berpikir yang dikendalikan emosi akan menyebabkan berpikir yang tak rasional.
3. Emosi dan pemikiran-pemikiran yang negatif dan bersifat merusak harus ditangani melalui pemikiran yang rasional.
4. Perasaan dan pikiran sangat erat hubungannya, namun keduanya mermpunyai sifat dan fungsi saling komplementer.
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Rational Emotive adalah:
1. Klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan efektif yang positif.
2. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti: rasa benci, rasa takut, rasa bersalah, marah, rasa berdosa, rasa cemas, rasa was-was.
Tujuan khusus Rasional Emotif adalah:
1. Self Interest: menciptakan kesehatan mental termasuk keseimbangan emoional.
2. Self Direction: mendorong klien untuk mengarahkan dirinya sendiri menghadapi kenyataan-kenyatan hidupnya dengan bertanggungjawab sendiri.
3. Tolerance: Mendorong dan membangkitkan rasa toleransi klien terhadap orang lain.
4. Acceptance of uncertalnty: Memberikan pemahaman yang rasional kepada klien untuk menghadapi kenyataan hidup secara logis dan tidak emosional.
5. Fleksibel: Mendorong klien agar luwes bertindak secara intelektual.
6. Commitment: Membangkitkan sikap obyektivitas dn komitmen klien untuk menjaga keseimbangan dengan lingkungannya.
7. Scientific Thinking: Berpikir rasional secara obyektyif terhadap orang lain dan dirinya sendiri.
8. Risk Taking: mendorong dan membangkitkan kebernian dlam diri klien untuk mengubah nasibnya melalui kehidupan nyata.
9. Self Acceptance: Penerimaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri dengan gembira dan senang.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
RET mempunyai karakteristik dalam helping relationship sebagai berikut:
1. Aktif Directif: dalam hubungan konseling (terapeutik) konselor lebih (terapis) lebih aktif dalam membantu mengarahkan klien memecahkan masalahnya.
2. Kognitif Rational: hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif Eksperiensial: Hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif klien.
4. Behaviouristik: hubungan yang dibentguk harus mendorong terjdinya perubahan tingkah laku klien.
5. Kondisdional: hubungan dalam RET dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap klien.
Fungsi dan peranan konselor dalam RET adalah:
1. Mendorong dan meyakinkan klien bahwa klien harus memisahkan keyakinannya yang rasional dari yang irasional.
2. Menunjukkan kepada klien bahwa berpikir ilogis adalah dumber dari gangguan terhadap kepribadiannya.
3. Mengarahkan klien untuk berpikir dan membebaskan dari ide yang tidak rasional.
4. Mengajar klien bagaimana mengaplikasikan pendekatan ilmiah, obyektif dan logis dalam berpikir.
Hubungan antara konselor dan klien dalam RET sebagai berikut:
1. Hubungan hendaknya dalam suasana informal.
2. Sebaiknya konselor aktif, direktif tetapi juga obyektif.
3. Konselor sebagai model untuk klien.
4. Hubungan yang full tolerance dan unconditional positive regard harus diciptakan konselor untuk menghilangkan perasaan-perasaan bersalah klien.
5. Konselor menerima diri klien hendaknya sebgai seorang manusiayang berharkat dan bernilai.
E. Teknik-Teknik dalam RET
1. Teknik Assertive Training: teknik untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku tertentu yang diinginkan.
2. Teknik Sosiodrama: teknik yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri.
3. Teknik Self Modeling: meminta klien untuk berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Klien diminta untuk tetap setia pada janjinya.
4. Teknik Imitasi: klien diminta untuk menirukan secra terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud melawan perilaku sendiri yang negatif.
5. Teknik-teknik Behaviouristik:
a. Teknik Reinforcement, teknik yang digunakan untuk emndorong klien kearah perilaku yang lebih rasionil dan logis dengan jalan memberikan pujian (reward) ataupun punishment.
b. Teknik Social Modeling: Teknik yang gunakan untuk perilaku baru pada klien.
Model-model dalam Social Model antara lain:
1) Live models, untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang komplek.
2) Filmed models, suatu model perilaku yang difilmkan sehingga klien dapat mengimitasikan dan mengidentifikasikan dirinya dengan model perilaku.
3) Audio tape recorder models, klien mempelajaai tingkah laku baru dengan melihat dan mendengarkan orang lain menyatakan perilakunya dalam situasi tertentu.
6. Teknik Counter Conditioning
Untuk menanggulangi perilaku-perilaku seperti: anziety, fears, phobia, defensive, dan perilaku maladaptive lainnya.
Beberapa jenis teknik counter conditioning antara lain:
a. Systematic Desensitization, konselor menciptakan suatu kondisi atau situasi tertentu yang secra potensial merupakan penyebab dari munculnya perasaan negatif pasien, namun situasi itu memberikaan keadaan yang rileks kepada pasien.
b. Teknik Relaxation, digunakan bila kondisi klien sedang berada dalam tahap pertentangan antara keyakinannya yang irasional dan menimbulkan ketegangan.
c. Teknik Self Control, teknik ini untuk memodifikasi perilaku klien dengan jalan membangkitkan dan mengembangkan self control-nya.
6. Teknik-teknik Kognitif
Teknik ini digunakan dengn maksud melawan sistem keyakinan yang irasional dari klien serta perilakunya yang negatif.. Klien didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berfikir dengan cara yang rasional dan logis.
Beberapa teknik kognitif:
a. Home Work Assigment, Klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.
b. Teknik Bibliotherapy, untuk membongkar akar-akar keyakinan yang irasional dan ilogis dalam diri klien serta melatih klien dengan cara-cara berpikir rasional dan logis dengan mempelajari bahan-bahan bacaan yang telah dipilih dan ditentukan konselor.
c. Teknik Diskusi, dengan teknik ini klien dapat mempelajari pengalaman-pengalaman orang lain dan menimba informasi yang dapat mempengaruhi dan mengubah keyakinannya serta cara berpikir yang irasional dan tidak obyektif.
d. Teknik Simulasi, untuk memberi kemungkinan kepada klien mempraktekkan perilaku-perilaku tertentu melalui suatu kondisi simulatif yang mendekati kenyataan.
e. Teknik Gaming, untuk melatih dan menempatkan klien dalam peran tertentu. Klien dilatih dan belajar mengidentifikasikan dirinya dengan peranan dari figur tertentu yang ada dalam lingkunan sosialnya.
f. Teknik Paradoxical (keinginan yang berlawanan). Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa sesorangyang mulai memperlihatkan keinginan atau hasrat yang tidak baik (negatif) dengan sendirinya akan menjadi jera dengan jalan menciptkan kondisi yang hiperintention, yakni mempertinggi hasrat atau keinginan, sehingga pada titik kulminasi tertentu orang itu akan menghilangkan sama sekali keinginannya itu.
g. Teknik Assertive, melalui role playing dan social modeling klien dilatih keberanian dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan.
Shelton mengemukakan bahwa maksud utama teknik assertive adalah untuk:
1) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya.
2) Membangkitkan kemampuan klien untuk mengungkapkan hak azazinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak azazi orang lain.
3) Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.
4) Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri
A. Latar Belakang
Teori Rasional Emotif dikembangkan oleh Albert Ellis di Amerika awal tahun 1960-an. Teori Rasional Emosi merupakan sintesis baru dari behaviour therapy, sehingga Ellis juga menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behaviour Therapy atau Comprehensive Therapy. Konsep ini sebenarnya merupakan aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar dari filsafat eksistensialisme.
Dalam perkembangan selanjutnya jejak Ellis diikuti beberapa ahli seperti: R.M. Jurjevich, William S. Sahakian, Don J. Tosi, dan lain-lain.
B. Konsep Dasar
Konsep dasar Rational Emotive Therapy (RET) adalah sebagai berikut:
1. Manusia dilahirkan dengan berbagai kekuatan dan potensi dan untuk kehidupan, yang diantaranya adalah berpikir rasional dan irasional.
2. Pikiran dan emosi adalah dua potensi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Emosi selalu menyertai proses berpikir. Tetapi berpikir yang dikendalikan emosi akan menyebabkan berpikir yang tak rasional.
3. Emosi dan pemikiran-pemikiran yang negatif dan bersifat merusak harus ditangani melalui pemikiran yang rasional.
4. Perasaan dan pikiran sangat erat hubungannya, namun keduanya mermpunyai sifat dan fungsi saling komplementer.
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Rational Emotive adalah:
1. Klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan efektif yang positif.
2. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti: rasa benci, rasa takut, rasa bersalah, marah, rasa berdosa, rasa cemas, rasa was-was.
Tujuan khusus Rasional Emotif adalah:
1. Self Interest: menciptakan kesehatan mental termasuk keseimbangan emoional.
2. Self Direction: mendorong klien untuk mengarahkan dirinya sendiri menghadapi kenyataan-kenyatan hidupnya dengan bertanggungjawab sendiri.
3. Tolerance: Mendorong dan membangkitkan rasa toleransi klien terhadap orang lain.
4. Acceptance of uncertalnty: Memberikan pemahaman yang rasional kepada klien untuk menghadapi kenyataan hidup secara logis dan tidak emosional.
5. Fleksibel: Mendorong klien agar luwes bertindak secara intelektual.
6. Commitment: Membangkitkan sikap obyektivitas dn komitmen klien untuk menjaga keseimbangan dengan lingkungannya.
7. Scientific Thinking: Berpikir rasional secara obyektyif terhadap orang lain dan dirinya sendiri.
8. Risk Taking: mendorong dan membangkitkan kebernian dlam diri klien untuk mengubah nasibnya melalui kehidupan nyata.
9. Self Acceptance: Penerimaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri dengan gembira dan senang.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
RET mempunyai karakteristik dalam helping relationship sebagai berikut:
1. Aktif Directif: dalam hubungan konseling (terapeutik) konselor lebih (terapis) lebih aktif dalam membantu mengarahkan klien memecahkan masalahnya.
2. Kognitif Rational: hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif Eksperiensial: Hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif klien.
4. Behaviouristik: hubungan yang dibentguk harus mendorong terjdinya perubahan tingkah laku klien.
5. Kondisdional: hubungan dalam RET dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap klien.
Fungsi dan peranan konselor dalam RET adalah:
1. Mendorong dan meyakinkan klien bahwa klien harus memisahkan keyakinannya yang rasional dari yang irasional.
2. Menunjukkan kepada klien bahwa berpikir ilogis adalah dumber dari gangguan terhadap kepribadiannya.
3. Mengarahkan klien untuk berpikir dan membebaskan dari ide yang tidak rasional.
4. Mengajar klien bagaimana mengaplikasikan pendekatan ilmiah, obyektif dan logis dalam berpikir.
Hubungan antara konselor dan klien dalam RET sebagai berikut:
1. Hubungan hendaknya dalam suasana informal.
2. Sebaiknya konselor aktif, direktif tetapi juga obyektif.
3. Konselor sebagai model untuk klien.
4. Hubungan yang full tolerance dan unconditional positive regard harus diciptakan konselor untuk menghilangkan perasaan-perasaan bersalah klien.
5. Konselor menerima diri klien hendaknya sebgai seorang manusiayang berharkat dan bernilai.
E. Teknik-Teknik dalam RET
1. Teknik Assertive Training: teknik untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku tertentu yang diinginkan.
2. Teknik Sosiodrama: teknik yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri.
3. Teknik Self Modeling: meminta klien untuk berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Klien diminta untuk tetap setia pada janjinya.
4. Teknik Imitasi: klien diminta untuk menirukan secra terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud melawan perilaku sendiri yang negatif.
5. Teknik-teknik Behaviouristik:
a. Teknik Reinforcement, teknik yang digunakan untuk emndorong klien kearah perilaku yang lebih rasionil dan logis dengan jalan memberikan pujian (reward) ataupun punishment.
b. Teknik Social Modeling: Teknik yang gunakan untuk perilaku baru pada klien.
Model-model dalam Social Model antara lain:
1) Live models, untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang komplek.
2) Filmed models, suatu model perilaku yang difilmkan sehingga klien dapat mengimitasikan dan mengidentifikasikan dirinya dengan model perilaku.
3) Audio tape recorder models, klien mempelajaai tingkah laku baru dengan melihat dan mendengarkan orang lain menyatakan perilakunya dalam situasi tertentu.
6. Teknik Counter Conditioning
Untuk menanggulangi perilaku-perilaku seperti: anziety, fears, phobia, defensive, dan perilaku maladaptive lainnya.
Beberapa jenis teknik counter conditioning antara lain:
a. Systematic Desensitization, konselor menciptakan suatu kondisi atau situasi tertentu yang secra potensial merupakan penyebab dari munculnya perasaan negatif pasien, namun situasi itu memberikaan keadaan yang rileks kepada pasien.
b. Teknik Relaxation, digunakan bila kondisi klien sedang berada dalam tahap pertentangan antara keyakinannya yang irasional dan menimbulkan ketegangan.
c. Teknik Self Control, teknik ini untuk memodifikasi perilaku klien dengan jalan membangkitkan dan mengembangkan self control-nya.
6. Teknik-teknik Kognitif
Teknik ini digunakan dengn maksud melawan sistem keyakinan yang irasional dari klien serta perilakunya yang negatif.. Klien didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berfikir dengan cara yang rasional dan logis.
Beberapa teknik kognitif:
a. Home Work Assigment, Klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.
b. Teknik Bibliotherapy, untuk membongkar akar-akar keyakinan yang irasional dan ilogis dalam diri klien serta melatih klien dengan cara-cara berpikir rasional dan logis dengan mempelajari bahan-bahan bacaan yang telah dipilih dan ditentukan konselor.
c. Teknik Diskusi, dengan teknik ini klien dapat mempelajari pengalaman-pengalaman orang lain dan menimba informasi yang dapat mempengaruhi dan mengubah keyakinannya serta cara berpikir yang irasional dan tidak obyektif.
d. Teknik Simulasi, untuk memberi kemungkinan kepada klien mempraktekkan perilaku-perilaku tertentu melalui suatu kondisi simulatif yang mendekati kenyataan.
e. Teknik Gaming, untuk melatih dan menempatkan klien dalam peran tertentu. Klien dilatih dan belajar mengidentifikasikan dirinya dengan peranan dari figur tertentu yang ada dalam lingkunan sosialnya.
f. Teknik Paradoxical (keinginan yang berlawanan). Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa sesorangyang mulai memperlihatkan keinginan atau hasrat yang tidak baik (negatif) dengan sendirinya akan menjadi jera dengan jalan menciptkan kondisi yang hiperintention, yakni mempertinggi hasrat atau keinginan, sehingga pada titik kulminasi tertentu orang itu akan menghilangkan sama sekali keinginannya itu.
g. Teknik Assertive, melalui role playing dan social modeling klien dilatih keberanian dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan.
Shelton mengemukakan bahwa maksud utama teknik assertive adalah untuk:
1) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya.
2) Membangkitkan kemampuan klien untuk mengungkapkan hak azazinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak azazi orang lain.
3) Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.
4) Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri
CLIENT CENTERED THERAPY (CCT)
TERAPI BERPUSAT PADA KLIEN
A. Latar Belakang
Tokoh teori ini adalah Carl Rogers. Pendapatnya sama dengan makna konseling secara umum, bahwa pemecahan masalah berpusat pada klien, berarti individu sendiri yang harus menyelesaikan masalahnya.
Client Centered Therapy (CCT)
Pandangannya tertuju pada penghargaan martabat manusia.
Menurut Rogers:
1. Hakekat manusia pada dasarnya baik dan penuh kepositipan.
2. Manusia panya kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengontrol diri sendiri.
3. Setiap individu pada dirinya terkandung motor penggerak, yang ciri-cirinya sebagai berikut :
a. Terbuka terhadap pengalaman sendiri dan orang lain.
b. Hidup dengan menempuh jalan dan dalam alam berdasarkan kenyataan
c. Percaya pada diri sendiri walaupun individu sedang bermasalah mengalami gangguan psikis tertentu untuk mewujudkan diri sendiri (self actualization).
4. Setiap individu mempunyai kemampuan beradaptasi dan punya dorongan yang kuat ke arah kedewasaan dan kemerdekaan, dan itu akan terwujud bila konselor dapat menciptakan suasana psikologis yang mempunyai sifat-sifat:
a. Menerima (acceptance) terhadap klien sebagai pribadi yang berharga
b. Konselor mau menerima perasaan seperti apa yang dirasakan klien, tanpa usaha mendiagnosis atau mengubah perasaan tersebut.
c. Bisa menunjukkan empati, bisa mengerti, menghayati dan merasakan sebagai yang dialami klien.
Dengan suasana yang demikian klien akan dapat mengatur dirinya sendiri pada tingkat dasar maupun yang lebih dalam.
Rogers mengemukakan CCT mempunyai prinsip:
1. Menekankan dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri untuk berkembang dan hidup sehat menyesuikan diri.
2. Menekankan pada unsur emosional tidak pada aspek intelektual.
3. Menekankan situasi yang langsung dihadapi saat ini.
4. Menekankan pada hubungan terapeutis (penyembuhan) sebagai pengalaman dalam perkembangan individu.
B. Konsep Dasar
CCT atau non directive counseling mendasarkan diri pada self theory dari Carl Rogers, yang menjelaskan bahwa kepribadian manusia terdiri dari 3 unsur:
1. Organisme
2. Mileau Fenomenal
3. Self
Organisme, merupakan keseluruhan dan kesatuan individu, yang mempunyai sifat-sifat:
a. Mereaksi secara keseluruhan terhadap mileau fenomenal (keseluruhan pengalaman individu).
b. Mempunyai motif dasar yang berfungsi memelihara dan memperkuat dirinya.
c. Dapat menyimbolisasikan atau menolak simbolisasi pengalaman-pengalaman. Sehingga menjadi pengalaman sadar atau tidak sadar.
Mileau Fenomenal
Merupakan keseluruhan pengalaman individu yang sifatnya sadar atau tidak sadar, tergantung pada diberi simbolisasi tidaknya pengalaman itu.
Self
Merupakan bagian yang berdiferensiasi dari lapangan fenomenal.
Self mempunyai sifat-sifat:
1. Self berkembang adanya interaksi antara organisir dengan lingkungan.
2. Self dapat menerima dan menanggapi nilai-nilai dari orang lain dalam bentuk yang telah diubahnya sendiri.
3. Self berusaha mempertahankan konsistensinya.
4. Organisme berbuat dengan cara konsisten dengan self.
5. Pengalaman yang tidak konsisten dengan self diterima sebagai ancaman.
6. Self berubah karena kematangan dan belajar.
Mengenai dinamika unsur dasar kepribadian Rogers menjelaskan dengan 19 buah dalil:
1. Setiap individu dalam dunia pengalaman yang terus berubah dan invidu menjadi sentralnya.
2. Organisisme merespon merespon medasn sesuai dengan pengalaman dan pemahamanya.
3. Organisme mereaksi lapangan fenomenal sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi.
4. Organisme mempunyai kecenderungan dan dorongan dasar untuk merealisasi, memelihara dan mempertahankan pengalaman dirinya.
5. Perilaku pada dasarnya merupakan usaha yang tertuju pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.
6. Suatu emosi menyertai dan memudahkan perilaku yang tertuju pada tujuan
7. Pangkal berpijak yang terbaik dan paling menguntungkan untuk memahami perilaku adalah frame of reference dalam diri individu itu sendiri.
8. Suatu bagian keseluruhan lapangan pengamatan secara berangsur-angsur berdiferensiasi menjadi self.
9. Hasil interaksi dengan lingkungan adalah struktur self terbentuk, terorganisir, fleksibel, tetapi konsisten.
10. Nilai-nilai yang bersatu dengan pengalaman dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur self dalam beberapa hal merupakan nilai-nilai yang dialami oleh organisme/individu.
11. Individu merespon pengalaman yang terjadi dengan dirinya.
12. Tingkah laku yang diterima individu adalah yang konsisten dengan pengertian self.
13. Perilaku individu juga didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan yang tidak disimbolisasi.
14. Penolakan untuk menyadari pengalaman-pengalaman yang berarti akan mengakibatkan maladjusment psikologis.
15. Apabila dalam konsep tentang self, pengalaman tentang sensori dan visceral dari individu disimbolisasikan dan disatukan dalam hubungan yang konsisten dengan self, maka penyesuaian psikologis akan terjadi.
16. Pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur self diterima sebagai ancaman.
17. Pengalaman yang tidak konsisten mungkin muncul kembali, struktur self diperbaiki untuk menerima pengalaman.
18. Bila individu menerima dan memahami orang lain ke dalam dirinya sebagaimana ia memahami organisasinya, ia akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dengan orang lain.
19. Bila individu telah memahami dan menerima lebih banyak dari pengalaman organismenya ke dalam struktur selfnya, maka ia sedang berada dalam proses mengganti sistem nilai-nilai dengan suatu proses penilaian yang terus menerus.
C. Tujuan Konseling
Sesuai dengan konsep dasar CCT, maka tujuan konseling adalah:
1. Memberi kesempatan dan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan-perasannya, berkembang dan terealisasi potensinya.
2. Membantu individu untuk makin sanggup berdiri sendiri dalam mengadakan integrasi dengan lingkungannya.
3. Membantu individu dalam mengadakan perubahan dan pertumbuhan.
Jadi tujuan konseling adalah self-directing dan full functioning dari klien.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
Kondisi hubungan yang dapat membantu perubahan kepribadian klien antara lain:
1. Ada hubungan psikologis antara konselor dengan klien
2. Adanya pernyataan incongruence (tidak ada saling) oleh klien.
3. Adanya pernyataan congruence oleh konselor.
4. Adanya unconditional positif regard dan pemahan yang empatik dari konselor terhadap klien.
5. Adanya persepsi klien terhadap counselor positif regard (penghargaan) dan pemahaman empatik.
Shertzer dan Stone menambahkan bahwa kualitas yang sangat penting dari hubungan pertolongan adalah:
1. The establishment of warm (kehangat yang menetap).
2. Permissive ettitudes (sikap yang sesuai apa adanya).
3. Accepting climate that permits cilent to explore their self-structure in relation their unique expertences (menerima iklim bahwa perjanjian dengan terbuka yang khusus).
Mengenai proses konseling dengan pendekatan CCT, Rogers berpendapat adanya 3 fase, ialah:
1. Pengalaman akan meredanya ketegangan (tension).
2. Adanya pemaham diri (self understanding).
3. Perencanaan untyuk kehiatan selanjutnya.
Fase-fase ini dikembangkan dan dijabarkan dalam 12 point yang merupakan langkah-langkah konseling, yaitu:
1. Individu (klien) datang sendiri pada klien minta bantuan.
2. Penentuan situasi yang cocok untuk memberikasn bantuan oleh konselor.
3. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan negatif klien.
4. Konselor memberi kebebasan klien untuk mengemukakan masalahnya.
5. Secara berangsur timbul perasaan positif klien.
6. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan positif klien.
7. Timbul pemahaman tentang diri sendiri (self) pada diri klien.
8. Pemahaman yang lebih jelas pada diri klien tentang kemungkinan menentukan kepuasan dan berbuat.
9. Timbul inisiatif pada diri klien untuk berbuat positif.
10. Adanya pemahaman lebih lanjut pada klien terhadap diri sendiri.
11. Timbul perkembangan tindakan yang positif dan integratif pada diri klien.
12. Klien secara berangsur tidak membutuhkan bantuan.
Dari proses konseling tersebut nampak bahwa inisiatif untuk memecahkan masalah tumbuh dari dalam diri klien.
Peranan konselor secara rinci sebagai berikut:
1. Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi dilakukan sendiri oleh klien.
2. Arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
3. Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan apa adanya.
4. Konselor memberikan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Rogers seorang konselor harus memiliki syarat:
1. Memiliki sensitifitas dalam hubungan insani.
2. Memiliki sikap yang obyektif.
3. Menghormat kemuliaan orang lain.
4. Memahami diri sendiri.
5. Bebas dari prasangka dan kompleks-kompleks dalam dirinya.
6. Sanggup masuk dalam dunia klien (empati) secara simpatik.
E. Teknik-Teknik Konseling dalam CCT
CCT menempatkan tanggungjawab tifak pada konselor tetapi pada klien. Maka teknik-teknik konselingnyas adalah sebagai berikut:
1. Acceptance (penerimaan)
2. Respect (rasa hormat)
3. Understanding (mengerti, memahami)
4. Reassurance (Menentramkan hati, meyakinkan)
5. Encouragement (dorongan)
6. Limited Questioning (pertanyaan terbatas)
7. Reflection (memantulkan pertanyaan dan perasaan).
A. Latar Belakang
Tokoh teori ini adalah Carl Rogers. Pendapatnya sama dengan makna konseling secara umum, bahwa pemecahan masalah berpusat pada klien, berarti individu sendiri yang harus menyelesaikan masalahnya.
Client Centered Therapy (CCT)
Pandangannya tertuju pada penghargaan martabat manusia.
Menurut Rogers:
1. Hakekat manusia pada dasarnya baik dan penuh kepositipan.
2. Manusia panya kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengontrol diri sendiri.
3. Setiap individu pada dirinya terkandung motor penggerak, yang ciri-cirinya sebagai berikut :
a. Terbuka terhadap pengalaman sendiri dan orang lain.
b. Hidup dengan menempuh jalan dan dalam alam berdasarkan kenyataan
c. Percaya pada diri sendiri walaupun individu sedang bermasalah mengalami gangguan psikis tertentu untuk mewujudkan diri sendiri (self actualization).
4. Setiap individu mempunyai kemampuan beradaptasi dan punya dorongan yang kuat ke arah kedewasaan dan kemerdekaan, dan itu akan terwujud bila konselor dapat menciptakan suasana psikologis yang mempunyai sifat-sifat:
a. Menerima (acceptance) terhadap klien sebagai pribadi yang berharga
b. Konselor mau menerima perasaan seperti apa yang dirasakan klien, tanpa usaha mendiagnosis atau mengubah perasaan tersebut.
c. Bisa menunjukkan empati, bisa mengerti, menghayati dan merasakan sebagai yang dialami klien.
Dengan suasana yang demikian klien akan dapat mengatur dirinya sendiri pada tingkat dasar maupun yang lebih dalam.
Rogers mengemukakan CCT mempunyai prinsip:
1. Menekankan dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri untuk berkembang dan hidup sehat menyesuikan diri.
2. Menekankan pada unsur emosional tidak pada aspek intelektual.
3. Menekankan situasi yang langsung dihadapi saat ini.
4. Menekankan pada hubungan terapeutis (penyembuhan) sebagai pengalaman dalam perkembangan individu.
B. Konsep Dasar
CCT atau non directive counseling mendasarkan diri pada self theory dari Carl Rogers, yang menjelaskan bahwa kepribadian manusia terdiri dari 3 unsur:
1. Organisme
2. Mileau Fenomenal
3. Self
Organisme, merupakan keseluruhan dan kesatuan individu, yang mempunyai sifat-sifat:
a. Mereaksi secara keseluruhan terhadap mileau fenomenal (keseluruhan pengalaman individu).
b. Mempunyai motif dasar yang berfungsi memelihara dan memperkuat dirinya.
c. Dapat menyimbolisasikan atau menolak simbolisasi pengalaman-pengalaman. Sehingga menjadi pengalaman sadar atau tidak sadar.
Mileau Fenomenal
Merupakan keseluruhan pengalaman individu yang sifatnya sadar atau tidak sadar, tergantung pada diberi simbolisasi tidaknya pengalaman itu.
Self
Merupakan bagian yang berdiferensiasi dari lapangan fenomenal.
Self mempunyai sifat-sifat:
1. Self berkembang adanya interaksi antara organisir dengan lingkungan.
2. Self dapat menerima dan menanggapi nilai-nilai dari orang lain dalam bentuk yang telah diubahnya sendiri.
3. Self berusaha mempertahankan konsistensinya.
4. Organisme berbuat dengan cara konsisten dengan self.
5. Pengalaman yang tidak konsisten dengan self diterima sebagai ancaman.
6. Self berubah karena kematangan dan belajar.
Mengenai dinamika unsur dasar kepribadian Rogers menjelaskan dengan 19 buah dalil:
1. Setiap individu dalam dunia pengalaman yang terus berubah dan invidu menjadi sentralnya.
2. Organisisme merespon merespon medasn sesuai dengan pengalaman dan pemahamanya.
3. Organisme mereaksi lapangan fenomenal sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi.
4. Organisme mempunyai kecenderungan dan dorongan dasar untuk merealisasi, memelihara dan mempertahankan pengalaman dirinya.
5. Perilaku pada dasarnya merupakan usaha yang tertuju pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.
6. Suatu emosi menyertai dan memudahkan perilaku yang tertuju pada tujuan
7. Pangkal berpijak yang terbaik dan paling menguntungkan untuk memahami perilaku adalah frame of reference dalam diri individu itu sendiri.
8. Suatu bagian keseluruhan lapangan pengamatan secara berangsur-angsur berdiferensiasi menjadi self.
9. Hasil interaksi dengan lingkungan adalah struktur self terbentuk, terorganisir, fleksibel, tetapi konsisten.
10. Nilai-nilai yang bersatu dengan pengalaman dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur self dalam beberapa hal merupakan nilai-nilai yang dialami oleh organisme/individu.
11. Individu merespon pengalaman yang terjadi dengan dirinya.
12. Tingkah laku yang diterima individu adalah yang konsisten dengan pengertian self.
13. Perilaku individu juga didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan yang tidak disimbolisasi.
14. Penolakan untuk menyadari pengalaman-pengalaman yang berarti akan mengakibatkan maladjusment psikologis.
15. Apabila dalam konsep tentang self, pengalaman tentang sensori dan visceral dari individu disimbolisasikan dan disatukan dalam hubungan yang konsisten dengan self, maka penyesuaian psikologis akan terjadi.
16. Pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur self diterima sebagai ancaman.
17. Pengalaman yang tidak konsisten mungkin muncul kembali, struktur self diperbaiki untuk menerima pengalaman.
18. Bila individu menerima dan memahami orang lain ke dalam dirinya sebagaimana ia memahami organisasinya, ia akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dengan orang lain.
19. Bila individu telah memahami dan menerima lebih banyak dari pengalaman organismenya ke dalam struktur selfnya, maka ia sedang berada dalam proses mengganti sistem nilai-nilai dengan suatu proses penilaian yang terus menerus.
C. Tujuan Konseling
Sesuai dengan konsep dasar CCT, maka tujuan konseling adalah:
1. Memberi kesempatan dan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan-perasannya, berkembang dan terealisasi potensinya.
2. Membantu individu untuk makin sanggup berdiri sendiri dalam mengadakan integrasi dengan lingkungannya.
3. Membantu individu dalam mengadakan perubahan dan pertumbuhan.
Jadi tujuan konseling adalah self-directing dan full functioning dari klien.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
Kondisi hubungan yang dapat membantu perubahan kepribadian klien antara lain:
1. Ada hubungan psikologis antara konselor dengan klien
2. Adanya pernyataan incongruence (tidak ada saling) oleh klien.
3. Adanya pernyataan congruence oleh konselor.
4. Adanya unconditional positif regard dan pemahan yang empatik dari konselor terhadap klien.
5. Adanya persepsi klien terhadap counselor positif regard (penghargaan) dan pemahaman empatik.
Shertzer dan Stone menambahkan bahwa kualitas yang sangat penting dari hubungan pertolongan adalah:
1. The establishment of warm (kehangat yang menetap).
2. Permissive ettitudes (sikap yang sesuai apa adanya).
3. Accepting climate that permits cilent to explore their self-structure in relation their unique expertences (menerima iklim bahwa perjanjian dengan terbuka yang khusus).
Mengenai proses konseling dengan pendekatan CCT, Rogers berpendapat adanya 3 fase, ialah:
1. Pengalaman akan meredanya ketegangan (tension).
2. Adanya pemaham diri (self understanding).
3. Perencanaan untyuk kehiatan selanjutnya.
Fase-fase ini dikembangkan dan dijabarkan dalam 12 point yang merupakan langkah-langkah konseling, yaitu:
1. Individu (klien) datang sendiri pada klien minta bantuan.
2. Penentuan situasi yang cocok untuk memberikasn bantuan oleh konselor.
3. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan negatif klien.
4. Konselor memberi kebebasan klien untuk mengemukakan masalahnya.
5. Secara berangsur timbul perasaan positif klien.
6. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan positif klien.
7. Timbul pemahaman tentang diri sendiri (self) pada diri klien.
8. Pemahaman yang lebih jelas pada diri klien tentang kemungkinan menentukan kepuasan dan berbuat.
9. Timbul inisiatif pada diri klien untuk berbuat positif.
10. Adanya pemahaman lebih lanjut pada klien terhadap diri sendiri.
11. Timbul perkembangan tindakan yang positif dan integratif pada diri klien.
12. Klien secara berangsur tidak membutuhkan bantuan.
Dari proses konseling tersebut nampak bahwa inisiatif untuk memecahkan masalah tumbuh dari dalam diri klien.
Peranan konselor secara rinci sebagai berikut:
1. Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi dilakukan sendiri oleh klien.
2. Arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
3. Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan apa adanya.
4. Konselor memberikan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Rogers seorang konselor harus memiliki syarat:
1. Memiliki sensitifitas dalam hubungan insani.
2. Memiliki sikap yang obyektif.
3. Menghormat kemuliaan orang lain.
4. Memahami diri sendiri.
5. Bebas dari prasangka dan kompleks-kompleks dalam dirinya.
6. Sanggup masuk dalam dunia klien (empati) secara simpatik.
E. Teknik-Teknik Konseling dalam CCT
CCT menempatkan tanggungjawab tifak pada konselor tetapi pada klien. Maka teknik-teknik konselingnyas adalah sebagai berikut:
1. Acceptance (penerimaan)
2. Respect (rasa hormat)
3. Understanding (mengerti, memahami)
4. Reassurance (Menentramkan hati, meyakinkan)
5. Encouragement (dorongan)
6. Limited Questioning (pertanyaan terbatas)
7. Reflection (memantulkan pertanyaan dan perasaan).
Sabtu, 01 Mei 2010
BELAJAR KELOMPOK
1) Pengertian Belajar Kelompok
Menurut Abu Ahmadi, (2004: 111) belajar kelompok merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk membahas suatu materi dalam pelajaran yang sedang dihadapinya.
Nana S. Sukmadinata (dalam M. Jumarin, 2000 : 50) mengemukakan pengertian bimbingan kelompok yaitu “usaha penyuluh pendidikan atau guru untuk membantu anak atau siswa yang berlangsung dalam situasi kelompok”.
Layanan bimbingan kelompok bisa diberikan secara klasikal di kelas maupun non klasikal, layanan ini memberi banyak kesempatan untuk menyampaikan berbagai informasi yang terkait dengan bimbingan pribadi, sosial, belajar, karir dan layanan-layanan pada point di atas sekaligus menggali permasalahan siswa sebagai salah satu bentuk upaya menjemput bola. Selain dapat memberi informasi, bimbingan ini juga mempermudah observasi terhadap anak dalam berperilaku di kelas, juga menggali berbagai data yang diperlukan untuk menyempurnakan bimbingan.
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Jadi bimbingan belajar kelompok suatu proses pemberian bantuan kepada sekelompok individu (siswa) dalam situasi kelompok secara berkelanjutan dan sistimatis, oleh seorang ahli yang telah terlatih (guru/pembimbing) agar individu (siswa) dalam kelompok itu secara optimal mampu mengatasi kesulitan belajarnya, mengembangkan potensi belajarnya, untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam belajarnya.
Di samping menyampaikan materi, pembimbing juga berperan sebagai komunikator, motivator, manager belajar, evaluator, fasilitator, konselor, dan perancang belajar.
2) Tujuan dan Manfaat Bimbingan Kelompok
Samsudin (dalam Jumarin, 2000 : 63) mengemukakan bahwa bimbingan kelompok belajar mempunyai tujuan:
a) Dapat menguasai ilmu pengetahuan dan kecakapan secara bersama-sama.
b) Dapat mengatasi kesulitan-kesulitan, terutama dalam belajar bersama-sama.
c) Dapat belajar bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan khususnya dalam belajar dari anggota kelompok yang lain.
d) Membiasakan menghargai pendapat dan usulan orang lain.
e) Berlatih belajar mengeluarkan ;pendapat dan usul kepada orang lain.
f) Dapat memupuk gotong-royong bagi anggota kelompoknya.
Manfaat bimbingan belajar kelompok :
a) Belajar dalam kelompok belajar dapat menjadi kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan dan dinamis karena ditemani oleh teman dan berada di rumah sendiri sehingga dapat lebih santai. Agar efektif dan tidak berubah menjadi bermain diperlukan pembimbing
b) Tersedianya kondisi belajar yang nyaman,
c) Mudah saling memberi informasi,
d) Dapat menghemat biaya untuk sarana belajar karena siswa dapat saling berbagi pakai fasilitas atau sarana belajar,
e) Terperhatikannya karakteristik pribadi siswa,
f) Siswa dapat mereduksi kemungkinan kesulitan belajar,
g) Sedangkan manfaat bagi guru/konselor adalah membantu menyesuaikan program pembelajaran agar sesuai dengan karakteristik siswa dan memudahkan dalam pengembangan potensi siswa secara menyeluruh.
h) Siswa dapat berperan aktif dalam mengelola pengetahuan yang telah dimiliki untuk memecahkan suatu masalah. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah melalui belajar secara kelompok dapat membantu siswa tersebut meningkatkan prestasi belajarnya
i) Dengan belajar kelompok, dapat ditumbuhkembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap siswa. Siswa dibina untuk mengendalikan rasa egois yang ada dalam diri mereka masing-masing, sehingga terbina kesetiakawanan sosial antara siswa dengan siswa. (Syaiful Bahri Djamrah dan Aswan Zain 2002:63)
j) Dapat membantu siswa dalam rangka bertukar pikiran mengenai soal-soal yang akan dibahas tersebut, kebiasaan tukar pikiran antara siswa yang satu dengan siswa yang lain akan memacu cara belajar untuk lebih mengetahui banyak tentang objek atau bahan yang sedang dipelajari.
BIMBINGAN BELAJAR
1) Pengertian Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar adalah layanan bimbingan yang memungkinkan siswa mengembangkan diri dengan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, materi belajar yang cocok dengan kecepatan dan kesulitan belajar atau dapat mangatasi kesulitan belajar (P3G,1996: 6).
Menurut Abu Ahmadi, (2004: 111) bimbingan belajar adalah suatu proses pemberian bantuan terus-menerus dan sistematis kepada individu atau peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya yang kaitannya dengan kegiatan belajar.
Mungin Eddy Wibowo (2000:12) berpendapat bahwa bimbingan belajar adalah:
“Suatu usaha untuk mengemukakan siswa memahami dan mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, ketrampilan dan materi belajar yang cocok dengan kesulitan belajarnya, serta ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan dan perkembangan dirinya”.
Oemar Hamalik (1992:194) juga berpendapat bahwa “bimbingan belajar merupakan usaha membantu siswa untuk meningkatkan hasil belajarnya dan berupaya agar siswa tidak mengalamai kegagalan”.
Sementara itu menurut M. Jumarin (2000:5) bimbingan belajar adalah :
“Suatu proses pemberian bantuan yang diberikan oleh seseorang yang terlatih kepada individu atau sekelompok individu untuk membuat pilihan dalam belajarnya secara tepat, mengatasi kesulitan-kesulitan belajarnya, mengembangkan potensi belajarnya, serta mampu mengadakan penyesuaian diri baik terhadap diri sendiri, sekolah, keluarga maupun masyarakat”.
Dari tinjauan tentang bimbingan dan belajar serta pendapat di atas maka bimbingan belajar dapat diartikan sebagai proses pemberian bantuan dari guru atau pembimbing kepada siswa agar terhindar dari kesulitan belajar, yang mungkin muncul selama proses pembelajaran, sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Optimal dalam kontek belajar dapat dimaknai sebagai siswa yang efektif, produktif dan prestatif.
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Dalam setiap pembelajaran siswa kadang menemukan kesulitan dalam belajar dan hal tersebut membutuhkan bimbingan. Pada umumnya kesulitan belajar merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai tujuan. Hambatan-hambatan itu mungkin disadari mungkin pula tidak disadari oleh orang yang mengalaminya serta dapat bersifat psikologis, sosiologis dan fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya.
Pemberian bantuan itu meliputi:
a) Cara-cara belajar efisien dan efektif.
b) Membangkitkan motivasi belajar.
c) Pemberian informasi
d) Membantu menyelesaikan soal-soal atau tugas-tugas dari guru.
e) Trik-trik menghadapi menyelesaikan soal-soal ujian.
f) Cara belajar dalam kelompok.
2) Tujuan bimbingan belajar kelompok adalah:
a) Secara umum bimbingan belajar kelompok bertujuan membantu individu-individu dalam kelompok (murid-murid) agar dapat memperoleh penyesuaian yang baik di dalam situasi belajar, sehingga setiap murid dapat belajar secara efisien dan efektif sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan mencapai perkembangan yang optimal. Dengan rincian sebagai berikut (M. Jumarin, 2000 : 9):
(1) Mencarikan cara-cara belajar yang efisien dan efektif bagi seorang anak atau kelompok anak.
(2) Menunjukkan cara-cara mempelajari sesuatu dan menggunakan buku pelajaran.
(3) Memberikan informasi (saran dan petunjuk) bagi yang memanfaatkan perpustakaan.
(4) Membuat tugas sekolah dan mempersiapkan diri dalam ulangan dan ujian.
(5) Memilih suatu program studi sesuai dengan bakat, minat, kecerdasan, cita-cita dan kondisi fisik atau kesehatan.
(6) Menunjukkan cara-cara menghadapi kesulitan dalam bidang studi tertentu.
(7) Menentukan pembagian waktu dan perencanaan jadwal belajarnya.
(8) Memilih pelajaran tambahan baik yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah maupun untuk pengembangan bakat dan karir di masa depan.
b) Secara khusus adalah:
(1) Siswa dapat mengenal, memahami, menerima, mengalahkan dan mengaktualisasikan potensi secara optimal.
(2) Mengembangkan berbagai keterampilan belajar.
(3) Mengembangkan suasana yang kondusif.
(4) Memahami lingkungan pendidikan.
PENGERTIAN BELAJAR
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Pengertian belajar pada dasarnya merupakan aktivitas yang dilakukan setiap individu dalam upaya melangsungkan kehidupannya.
Terdapat banyak definisi tentang belajar yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Ngalim Purwanto (2006 : 85) belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan dan kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar”. Dengan demikian, perubahan-perubahan tingkah laku akibat pertumbuhan fisik atau kematangan, kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan adalah tidak termasuk sebagai belajar.
Syaiful Bahri Djamarah (2008: 13) mengemukakan “Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor”.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sumadi Suryabrata (2002 : 230) yang menyatakan bahwa pada dasarnya belajar adalah “membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, aktual maupun potensial), perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru dan perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja)”.
Pengertian belajar menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 120) adalah ”suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk melakukan sesuatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan”.
Menurut Dakir (1995 : 120) belajar adalah “adanya perubahan baik menuju ke arah lebih maju dan perubahan-perubahan itu didapatkan karena adanya latihan yang disengaja”.
Sementara itu Slameto (2003 : 2) juga mengemukakan pendapatnya “secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku”.
Berdasar pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk melakukan perubahan tingkah laku baru yang didapatkan karena adanya latihan yang disengaja dan karena pengalaman. Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subjek yaitu dari siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar yang berupa alam sekitar, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi guru proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang sesuatu hal. Dalam proses belajar tersebut siswa menggunakan kemampuan mentalnya (kognitif, afektif dan psikomotorik) untuk mempelajari bahan belajar.
Senin, 19 April 2010
BOLEHKAH NON MUSLIM KITA SEBUT ALMARHUM?
Kata "Almarhum" cukup familiar bagi telinga orang Indonesia ketika menyebut nama orang yang sudah meninggal. Biasanya yang disematkan sebutan ini adalah orang dekat yang pernah hidup bersama. Kata "Almarhum" ini tidak banyak dipakai di negara-negara lain, khususnya di jazirah Arab. Kata ini, juga jarang/tidak pernah digunakan oleh para ulama di masa lalu.
Almarhum adalah bentuk maf'ul dari rahima-yarhamu, yang artinya mengasihi. Berarti maksud ucapan Almarhum adalah orang yang dikasihi atau dirahmati oleh Allah. Kata Almarhum yang berbentuk kalimah isim mengandung makna memastikan, yaitu orang tersebut pasti dirahmati oleh Allah, karenanya dia pasti masuk surga.
Dalam timbangan akidah Islam, kita tidak dibolehkan memastikan seseorang sebagai ahli surga kecuali berdasarkan nash. Kita juga tidak boleh menyatakan seseorang tertentu benar-benar dirahmati dan diampuni dosanya oleh Allah, kecuali dengan keterangan dari Al Qur'an dan sunnah Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam. Hanya saja kita berharap bahwa orang beriman yang telah berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk dirahmati oleh Allah, diampuni dosanya, dan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, terhadap orang kafir yang mati di atas kekafiran, kita nyatakan sebagai ahli neraka.
Namun dalam realitanya, banyak kita dengarkan orang dengan mudahnya menyematkan gelar atau sebutan "Almarhum" kepada orang yang meninggal. Lebih parah lagi, gelar atau sebutan ini disematkan kepada orang kafir yang meninggal di atas kekafiran.
Pada saat jumpa pers di Mabes Polri, Rabu siang (10 Maret 2010) kemarin, kita mendengar Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri menyematkan gelar "Almarhum" kepada Briptu Boas Woisiri (35), prajurit yang meninggal dalam penggerebekan di Aceh beberapa hari lalu. Padahal jelas, Boas meninggal di sebagai seorang kristen, artinya dia meninggal di atas kekafiran.
"Istri dari almarhum Boas Waoisir merupakan lulusan sarjana ekonomi," tulis Vivanews mengutip ucapan Kapolri.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang sebutan "Almarhum" bagi orang meninggal, dan berikut ini jawaban beliau:
Dalam masalah ini kata-kata yang dibenarkan adalah ghafarallahu lahu (semoga Allah mengampuninya) atau rahimahullah (semoga Allah merahmatinya)' dan ucapan semisal itu bila dia (orang yang meninggal dunia tersebut) seorang Muslim. Kata al-maghfur lahu atau al-marhum tidak boleh digunakan karena mengandung makna bersaksi terhadap orang tertentu bahwa dia ahli surga, ahli neraka atau lainnya, kecuali orang yang memang sudah dipersaksikan oleh Allah dengan hal itu dalam Kitab-Nya yang mulia atau orang yang telah dipersaksikan oleh RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam.
kata-kata yang dibenarkan adalah ghafarallahu lahu atau rahimahullah dan ucapan semisal itu bila dia seorang Muslim.
Inilah yang disebutkan oleh ulama Ahlus Sunnah: "barangsiapa yang Allah nyatakan di dalam Al Qur'an sebagai ahli neraka seperti Abu Lahab dan istrinya; atau orang yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallamsebagai ahli surga seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman, Ali, dan para sahabat lainnya yang termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga; dan selain mereka yang telah dipersaksikan beliau masuk surga seperti Abdullah bin Salam, Ukasyah bin Mihsan; ataupun orang yang dipersaksikan beliau masuk neraka seperti Abu Thalib, Amr bin Luhay Al-Khuza'i dan selain keduanya yang telah dipersaksikan beliau masuk neraka -na'udzu billahi min dzalik- maka kita menyatakan seperti itu. Sedangkan orang yang belum dipersaksikan Allah ataupun Rasul-Nya masuk surga atau neraka, maka kita tidak bersaksi atasnya terhadap hal tersebut dengan menentukan orangnya. Demikian juga, kita tidak bersaksi terhadap seseorang tertentu mendapatkan ampunan (maghfirah) atau rahmat kecuali berdasarkan nash Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Akan tetapi Ahlus Sunnah berharap bagi orang yang berbuat baik dan takut berbuat buruk serta kaum mukminin pada umumnya semoga menjadi ahli surga. Sedangkan bagi orang-orang kafir pada umumnya menjadi ahli neraka.
Sebagaimana hal itu telah dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitabNya:
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
"Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya . . " (QS. Al Taubah: 72)
وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا هِيَ حَسْبُهُمْ
"Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka . . ." (QS. Al Taubah: 68)
Sebagian ulama berpendapat boleh bersaksi bahwa fulan ahli neraka dan ahli surga jika ada dua orang adil atau lebih yang menjadi saksi atas kebaikan atau keburukan dirinya berdasarkan hadits-hadits shahih yang berisi tentang hal tersebut.
(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz V, hal. 365-366 dari fatwa Syaikh Ibn Baz)
Fatwa Lajnah Daimah
Lajnah Daimah pernah ditanya: "Saya mendengar sebagian kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang. Saya ingin mengetahui pandangan Islam terhadap kalimat ini? Misalnya, jika ada seseorang tertentu meninggal dunia, sebagian orang mengatakan “almarhum si fulan”. Jika orang yang meninggal itu memiliki kedudukan, mereka mengatakan “almaghfur lahu fulan”.
Lajnah menjawab:
Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang setelah orang itu meninggal dunia merupakan perkara ghaib; hanya diketahui oleh Allah, kemudian makhluk yang diberitahu oleh Allah ‘Azza wa jalla, seperti para malaikatNya dan para nabiNya.
Jadi pemberitaan orang lain, selain para malaikat atau para nabi tentang mayit bahwa ia sudah mendapatkan rahmat atau maghfirah, merupakan sesuatu yang tidak boleh. Kecuali orang yang sudah dijelaskan nash dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (kalau berani berbicara) tanpa nash, berarti telah berlaku lancang atas sesuatu yang ghaib, padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
"Katakanlah: 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah'.” (QS. An Naml :65)
"(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya." (QS. Jin :26-27)
Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang setelah orang itu meninggal dunia merupakan perkara ghaib;
Namun seorang muslim diharapkan mendapatkan maghfirah (ampunan), rahmat dan masuk syurga, sebagai karunia dan kasih sayang dari Allah. Dan dia dido’akan agar mendapatkan ampunan, sebagai ganti dari pemberitaan bahwa ia telah mendapatkan ampunan dan rahmat. Allah berfirman :
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya." (QS An Nisa': 48)
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit bahwa Ummul Ala’ -seorang wanita yang pernah membaiat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- memberitahuku, bahwa kaum muhajirin diundi (untuk menentukan siapa di kalangan Muhajirin yang ditempatkan di rumah seorang dari kalangan Anshar). Maka Utsman bin Madz’un terpilih buat kami, lalu kami ditempatkan di rumah kami. Lalu dia sakit yang menyebabkan meninggal. Ketika sudah meninggal, dimandikan, dan telah dikafani dengan kain-kainnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk. Lalu aku mengatakan, “Rahmat Allah atasmu, wahai Abu Sa’ib (maksudnya Utsman bin Madz’un)Aku bersaksi bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.”
Mendengar ucapanku ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apa yang telah membuat Engkau mengetahui bahwa Allah telah memuliakannya?”
Aku mengatakan, “Demi bapakmu(ini bukan untuk bersumpah, pent), lalu siapa yang dimuliakan Allah?"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Karena dia telah meninggal dunia, maka demi Allah, saya sungguh mengharapkan kebaikan baginya. Dan demi Allah, saya tidak tahu padahal saya adalah Rasulullah apa yang akan Allah lakukan pada diri saya!“
Kemudian ummul ‘Ala mengatakan: ”Demi Allah, setelah itu seterusnya (kepada seorang pun) saya tidak (lagi) memberi persaksian bahwa si fulan mendapatkan kebaikan setelah meninggalnya.” (HR Bukhari)
Dan mengenai ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Dan demi Allah. Saya tidak tahu-padahal saya adalah Rasulullah- apa yang akan Allah lakukan pada diri saya," beliau katakan sebelum Allah menurunkan firmannya:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada kamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa yang telah lalu dan akan datang." (QS Al Fath :1-2) Juga sebelum Allah memberitahukan beliau termasuk sebagai penghuni surga.
(Lihat fatwa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal ifta’, 2/159-160).
Mendudukkan maksud Almarhum
Mengenai ucapan "Almarhum", jika maknanya pemberitaan tentang keadaan si mayit bahwa ia telah mendapatkan rahmat dari Allah, maka ini haram. Karena ucapan ini berarti sama dengan memastikan bahwa si fulan termasuk penduduk surga. Padahal ini termasuk perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang diberi tahu oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Namun jika makna "almarhum" itu sebagai ungkapan optimisme atau harapan semoga si mayit mendapatkan rahmat, maka tidaklah mengapa mengucapkan kata-kata ini. (lihat Majmu’ Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 3/85).
Jika maknanya pemberitaan tentang keadaan si mayit bahwa ia telah mendapatkan rahmat dari Allah, maka ini haram.
Ucapan apa yang tepat?
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami, semestinya jika kalimat "almarhum" diganti dengan rahimahullah atau ghafarallahu lahu, atau Allahu yarhamuhu atau sejenisnya yang merupakan do’a.
Hal ini sebagaimana yang dinasihatkan oleh Syaikh bin Bazz, ". . . demikian juga (tidak diperbolehkan) persaksian atas seorang bahwa ia maghfur lahu (diampuni dosa-dosanya) atau almarhum (benar-benar mendapat rahmat). Oleh karena itu, sebagai ganti dari ucapan al marhum dan al maghfur, sebaiknya diucapkan : “Ghafarallahu lahu” (semoga Allah mengampuninya) atau “Rahimahullahu” (Semoga Allah merahmatinya). Atau ungkapan sejenis yang termasuk do’a bagi si mayit. (Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalatu Mutanawwi’ah, 4/335).
. . semestinya jika kalimat "almarhum" diganti dengan rahimahullah atau ghafarallahu lahu, atau Allahu yarhamuhu atau sejenisnya yang merupakan do’a.
(voa-islam.com)
Langganan:
Postingan (Atom)