ATAU TEORI RASIONAL EMOTIF
A. Latar Belakang
Teori Rasional Emotif dikembangkan oleh Albert Ellis di Amerika awal tahun 1960-an. Teori Rasional Emosi merupakan sintesis baru dari behaviour therapy, sehingga Ellis juga menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behaviour Therapy atau Comprehensive Therapy. Konsep ini sebenarnya merupakan aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar dari filsafat eksistensialisme.
Dalam perkembangan selanjutnya jejak Ellis diikuti beberapa ahli seperti: R.M. Jurjevich, William S. Sahakian, Don J. Tosi, dan lain-lain.
B. Konsep Dasar
Konsep dasar Rational Emotive Therapy (RET) adalah sebagai berikut:
1. Manusia dilahirkan dengan berbagai kekuatan dan potensi dan untuk kehidupan, yang diantaranya adalah berpikir rasional dan irasional.
2. Pikiran dan emosi adalah dua potensi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Emosi selalu menyertai proses berpikir. Tetapi berpikir yang dikendalikan emosi akan menyebabkan berpikir yang tak rasional.
3. Emosi dan pemikiran-pemikiran yang negatif dan bersifat merusak harus ditangani melalui pemikiran yang rasional.
4. Perasaan dan pikiran sangat erat hubungannya, namun keduanya mermpunyai sifat dan fungsi saling komplementer.
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Rational Emotive adalah:
1. Klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualization-nya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan efektif yang positif.
2. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti: rasa benci, rasa takut, rasa bersalah, marah, rasa berdosa, rasa cemas, rasa was-was.
Tujuan khusus Rasional Emotif adalah:
1. Self Interest: menciptakan kesehatan mental termasuk keseimbangan emoional.
2. Self Direction: mendorong klien untuk mengarahkan dirinya sendiri menghadapi kenyataan-kenyatan hidupnya dengan bertanggungjawab sendiri.
3. Tolerance: Mendorong dan membangkitkan rasa toleransi klien terhadap orang lain.
4. Acceptance of uncertalnty: Memberikan pemahaman yang rasional kepada klien untuk menghadapi kenyataan hidup secara logis dan tidak emosional.
5. Fleksibel: Mendorong klien agar luwes bertindak secara intelektual.
6. Commitment: Membangkitkan sikap obyektivitas dn komitmen klien untuk menjaga keseimbangan dengan lingkungannya.
7. Scientific Thinking: Berpikir rasional secara obyektyif terhadap orang lain dan dirinya sendiri.
8. Risk Taking: mendorong dan membangkitkan kebernian dlam diri klien untuk mengubah nasibnya melalui kehidupan nyata.
9. Self Acceptance: Penerimaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri dengan gembira dan senang.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
RET mempunyai karakteristik dalam helping relationship sebagai berikut:
1. Aktif Directif: dalam hubungan konseling (terapeutik) konselor lebih (terapis) lebih aktif dalam membantu mengarahkan klien memecahkan masalahnya.
2. Kognitif Rational: hubungan yang dibentuk harus berfokus pada aspek kognitif klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
3. Emotif Eksperiensial: Hubungan yang dibentuk juga harus melihat aspek emotif klien.
4. Behaviouristik: hubungan yang dibentguk harus mendorong terjdinya perubahan tingkah laku klien.
5. Kondisdional: hubungan dalam RET dilakukan dengan membuat kondisi-kondisi tertentu terhadap klien.
Fungsi dan peranan konselor dalam RET adalah:
1. Mendorong dan meyakinkan klien bahwa klien harus memisahkan keyakinannya yang rasional dari yang irasional.
2. Menunjukkan kepada klien bahwa berpikir ilogis adalah dumber dari gangguan terhadap kepribadiannya.
3. Mengarahkan klien untuk berpikir dan membebaskan dari ide yang tidak rasional.
4. Mengajar klien bagaimana mengaplikasikan pendekatan ilmiah, obyektif dan logis dalam berpikir.
Hubungan antara konselor dan klien dalam RET sebagai berikut:
1. Hubungan hendaknya dalam suasana informal.
2. Sebaiknya konselor aktif, direktif tetapi juga obyektif.
3. Konselor sebagai model untuk klien.
4. Hubungan yang full tolerance dan unconditional positive regard harus diciptakan konselor untuk menghilangkan perasaan-perasaan bersalah klien.
5. Konselor menerima diri klien hendaknya sebgai seorang manusiayang berharkat dan bernilai.
E. Teknik-Teknik dalam RET
1. Teknik Assertive Training: teknik untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan pola perilaku tertentu yang diinginkan.
2. Teknik Sosiodrama: teknik yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan klien melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri.
3. Teknik Self Modeling: meminta klien untuk berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan perasaan atau perilaku tertentu. Klien diminta untuk tetap setia pada janjinya.
4. Teknik Imitasi: klien diminta untuk menirukan secra terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud melawan perilaku sendiri yang negatif.
5. Teknik-teknik Behaviouristik:
a. Teknik Reinforcement, teknik yang digunakan untuk emndorong klien kearah perilaku yang lebih rasionil dan logis dengan jalan memberikan pujian (reward) ataupun punishment.
b. Teknik Social Modeling: Teknik yang gunakan untuk perilaku baru pada klien.
Model-model dalam Social Model antara lain:
1) Live models, untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang komplek.
2) Filmed models, suatu model perilaku yang difilmkan sehingga klien dapat mengimitasikan dan mengidentifikasikan dirinya dengan model perilaku.
3) Audio tape recorder models, klien mempelajaai tingkah laku baru dengan melihat dan mendengarkan orang lain menyatakan perilakunya dalam situasi tertentu.
6. Teknik Counter Conditioning
Untuk menanggulangi perilaku-perilaku seperti: anziety, fears, phobia, defensive, dan perilaku maladaptive lainnya.
Beberapa jenis teknik counter conditioning antara lain:
a. Systematic Desensitization, konselor menciptakan suatu kondisi atau situasi tertentu yang secra potensial merupakan penyebab dari munculnya perasaan negatif pasien, namun situasi itu memberikaan keadaan yang rileks kepada pasien.
b. Teknik Relaxation, digunakan bila kondisi klien sedang berada dalam tahap pertentangan antara keyakinannya yang irasional dan menimbulkan ketegangan.
c. Teknik Self Control, teknik ini untuk memodifikasi perilaku klien dengan jalan membangkitkan dan mengembangkan self control-nya.
6. Teknik-teknik Kognitif
Teknik ini digunakan dengn maksud melawan sistem keyakinan yang irasional dari klien serta perilakunya yang negatif.. Klien didorong dan dimodifikasi aspek kognitifnya agar dapat berfikir dengan cara yang rasional dan logis.
Beberapa teknik kognitif:
a. Home Work Assigment, Klien diberikan tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntun pola perilaku yang diharapkan.
b. Teknik Bibliotherapy, untuk membongkar akar-akar keyakinan yang irasional dan ilogis dalam diri klien serta melatih klien dengan cara-cara berpikir rasional dan logis dengan mempelajari bahan-bahan bacaan yang telah dipilih dan ditentukan konselor.
c. Teknik Diskusi, dengan teknik ini klien dapat mempelajari pengalaman-pengalaman orang lain dan menimba informasi yang dapat mempengaruhi dan mengubah keyakinannya serta cara berpikir yang irasional dan tidak obyektif.
d. Teknik Simulasi, untuk memberi kemungkinan kepada klien mempraktekkan perilaku-perilaku tertentu melalui suatu kondisi simulatif yang mendekati kenyataan.
e. Teknik Gaming, untuk melatih dan menempatkan klien dalam peran tertentu. Klien dilatih dan belajar mengidentifikasikan dirinya dengan peranan dari figur tertentu yang ada dalam lingkunan sosialnya.
f. Teknik Paradoxical (keinginan yang berlawanan). Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa sesorangyang mulai memperlihatkan keinginan atau hasrat yang tidak baik (negatif) dengan sendirinya akan menjadi jera dengan jalan menciptkan kondisi yang hiperintention, yakni mempertinggi hasrat atau keinginan, sehingga pada titik kulminasi tertentu orang itu akan menghilangkan sama sekali keinginannya itu.
g. Teknik Assertive, melalui role playing dan social modeling klien dilatih keberanian dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan.
Shelton mengemukakan bahwa maksud utama teknik assertive adalah untuk:
1) Mendorong kemampuan klien mengekspresikan seluruh hal yang berhubungan dengan emosinya.
2) Membangkitkan kemampuan klien untuk mengungkapkan hak azazinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak azazi orang lain.
3) Mendorong kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.
4) Meningkatkan kemampuan untuk memilih perilaku-perilaku assertive yang cocok untuk dirinya sendiri
Tampilkan postingan dengan label Micro Konseling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Micro Konseling. Tampilkan semua postingan
Kamis, 27 Mei 2010
CLIENT CENTERED THERAPY (CCT)
TERAPI BERPUSAT PADA KLIEN
A. Latar Belakang
Tokoh teori ini adalah Carl Rogers. Pendapatnya sama dengan makna konseling secara umum, bahwa pemecahan masalah berpusat pada klien, berarti individu sendiri yang harus menyelesaikan masalahnya.
Client Centered Therapy (CCT)
Pandangannya tertuju pada penghargaan martabat manusia.
Menurut Rogers:
1. Hakekat manusia pada dasarnya baik dan penuh kepositipan.
2. Manusia panya kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengontrol diri sendiri.
3. Setiap individu pada dirinya terkandung motor penggerak, yang ciri-cirinya sebagai berikut :
a. Terbuka terhadap pengalaman sendiri dan orang lain.
b. Hidup dengan menempuh jalan dan dalam alam berdasarkan kenyataan
c. Percaya pada diri sendiri walaupun individu sedang bermasalah mengalami gangguan psikis tertentu untuk mewujudkan diri sendiri (self actualization).
4. Setiap individu mempunyai kemampuan beradaptasi dan punya dorongan yang kuat ke arah kedewasaan dan kemerdekaan, dan itu akan terwujud bila konselor dapat menciptakan suasana psikologis yang mempunyai sifat-sifat:
a. Menerima (acceptance) terhadap klien sebagai pribadi yang berharga
b. Konselor mau menerima perasaan seperti apa yang dirasakan klien, tanpa usaha mendiagnosis atau mengubah perasaan tersebut.
c. Bisa menunjukkan empati, bisa mengerti, menghayati dan merasakan sebagai yang dialami klien.
Dengan suasana yang demikian klien akan dapat mengatur dirinya sendiri pada tingkat dasar maupun yang lebih dalam.
Rogers mengemukakan CCT mempunyai prinsip:
1. Menekankan dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri untuk berkembang dan hidup sehat menyesuikan diri.
2. Menekankan pada unsur emosional tidak pada aspek intelektual.
3. Menekankan situasi yang langsung dihadapi saat ini.
4. Menekankan pada hubungan terapeutis (penyembuhan) sebagai pengalaman dalam perkembangan individu.
B. Konsep Dasar
CCT atau non directive counseling mendasarkan diri pada self theory dari Carl Rogers, yang menjelaskan bahwa kepribadian manusia terdiri dari 3 unsur:
1. Organisme
2. Mileau Fenomenal
3. Self
Organisme, merupakan keseluruhan dan kesatuan individu, yang mempunyai sifat-sifat:
a. Mereaksi secara keseluruhan terhadap mileau fenomenal (keseluruhan pengalaman individu).
b. Mempunyai motif dasar yang berfungsi memelihara dan memperkuat dirinya.
c. Dapat menyimbolisasikan atau menolak simbolisasi pengalaman-pengalaman. Sehingga menjadi pengalaman sadar atau tidak sadar.
Mileau Fenomenal
Merupakan keseluruhan pengalaman individu yang sifatnya sadar atau tidak sadar, tergantung pada diberi simbolisasi tidaknya pengalaman itu.
Self
Merupakan bagian yang berdiferensiasi dari lapangan fenomenal.
Self mempunyai sifat-sifat:
1. Self berkembang adanya interaksi antara organisir dengan lingkungan.
2. Self dapat menerima dan menanggapi nilai-nilai dari orang lain dalam bentuk yang telah diubahnya sendiri.
3. Self berusaha mempertahankan konsistensinya.
4. Organisme berbuat dengan cara konsisten dengan self.
5. Pengalaman yang tidak konsisten dengan self diterima sebagai ancaman.
6. Self berubah karena kematangan dan belajar.
Mengenai dinamika unsur dasar kepribadian Rogers menjelaskan dengan 19 buah dalil:
1. Setiap individu dalam dunia pengalaman yang terus berubah dan invidu menjadi sentralnya.
2. Organisisme merespon merespon medasn sesuai dengan pengalaman dan pemahamanya.
3. Organisme mereaksi lapangan fenomenal sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi.
4. Organisme mempunyai kecenderungan dan dorongan dasar untuk merealisasi, memelihara dan mempertahankan pengalaman dirinya.
5. Perilaku pada dasarnya merupakan usaha yang tertuju pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.
6. Suatu emosi menyertai dan memudahkan perilaku yang tertuju pada tujuan
7. Pangkal berpijak yang terbaik dan paling menguntungkan untuk memahami perilaku adalah frame of reference dalam diri individu itu sendiri.
8. Suatu bagian keseluruhan lapangan pengamatan secara berangsur-angsur berdiferensiasi menjadi self.
9. Hasil interaksi dengan lingkungan adalah struktur self terbentuk, terorganisir, fleksibel, tetapi konsisten.
10. Nilai-nilai yang bersatu dengan pengalaman dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur self dalam beberapa hal merupakan nilai-nilai yang dialami oleh organisme/individu.
11. Individu merespon pengalaman yang terjadi dengan dirinya.
12. Tingkah laku yang diterima individu adalah yang konsisten dengan pengertian self.
13. Perilaku individu juga didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan yang tidak disimbolisasi.
14. Penolakan untuk menyadari pengalaman-pengalaman yang berarti akan mengakibatkan maladjusment psikologis.
15. Apabila dalam konsep tentang self, pengalaman tentang sensori dan visceral dari individu disimbolisasikan dan disatukan dalam hubungan yang konsisten dengan self, maka penyesuaian psikologis akan terjadi.
16. Pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur self diterima sebagai ancaman.
17. Pengalaman yang tidak konsisten mungkin muncul kembali, struktur self diperbaiki untuk menerima pengalaman.
18. Bila individu menerima dan memahami orang lain ke dalam dirinya sebagaimana ia memahami organisasinya, ia akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dengan orang lain.
19. Bila individu telah memahami dan menerima lebih banyak dari pengalaman organismenya ke dalam struktur selfnya, maka ia sedang berada dalam proses mengganti sistem nilai-nilai dengan suatu proses penilaian yang terus menerus.
C. Tujuan Konseling
Sesuai dengan konsep dasar CCT, maka tujuan konseling adalah:
1. Memberi kesempatan dan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan-perasannya, berkembang dan terealisasi potensinya.
2. Membantu individu untuk makin sanggup berdiri sendiri dalam mengadakan integrasi dengan lingkungannya.
3. Membantu individu dalam mengadakan perubahan dan pertumbuhan.
Jadi tujuan konseling adalah self-directing dan full functioning dari klien.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
Kondisi hubungan yang dapat membantu perubahan kepribadian klien antara lain:
1. Ada hubungan psikologis antara konselor dengan klien
2. Adanya pernyataan incongruence (tidak ada saling) oleh klien.
3. Adanya pernyataan congruence oleh konselor.
4. Adanya unconditional positif regard dan pemahan yang empatik dari konselor terhadap klien.
5. Adanya persepsi klien terhadap counselor positif regard (penghargaan) dan pemahaman empatik.
Shertzer dan Stone menambahkan bahwa kualitas yang sangat penting dari hubungan pertolongan adalah:
1. The establishment of warm (kehangat yang menetap).
2. Permissive ettitudes (sikap yang sesuai apa adanya).
3. Accepting climate that permits cilent to explore their self-structure in relation their unique expertences (menerima iklim bahwa perjanjian dengan terbuka yang khusus).
Mengenai proses konseling dengan pendekatan CCT, Rogers berpendapat adanya 3 fase, ialah:
1. Pengalaman akan meredanya ketegangan (tension).
2. Adanya pemaham diri (self understanding).
3. Perencanaan untyuk kehiatan selanjutnya.
Fase-fase ini dikembangkan dan dijabarkan dalam 12 point yang merupakan langkah-langkah konseling, yaitu:
1. Individu (klien) datang sendiri pada klien minta bantuan.
2. Penentuan situasi yang cocok untuk memberikasn bantuan oleh konselor.
3. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan negatif klien.
4. Konselor memberi kebebasan klien untuk mengemukakan masalahnya.
5. Secara berangsur timbul perasaan positif klien.
6. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan positif klien.
7. Timbul pemahaman tentang diri sendiri (self) pada diri klien.
8. Pemahaman yang lebih jelas pada diri klien tentang kemungkinan menentukan kepuasan dan berbuat.
9. Timbul inisiatif pada diri klien untuk berbuat positif.
10. Adanya pemahaman lebih lanjut pada klien terhadap diri sendiri.
11. Timbul perkembangan tindakan yang positif dan integratif pada diri klien.
12. Klien secara berangsur tidak membutuhkan bantuan.
Dari proses konseling tersebut nampak bahwa inisiatif untuk memecahkan masalah tumbuh dari dalam diri klien.
Peranan konselor secara rinci sebagai berikut:
1. Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi dilakukan sendiri oleh klien.
2. Arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
3. Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan apa adanya.
4. Konselor memberikan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Rogers seorang konselor harus memiliki syarat:
1. Memiliki sensitifitas dalam hubungan insani.
2. Memiliki sikap yang obyektif.
3. Menghormat kemuliaan orang lain.
4. Memahami diri sendiri.
5. Bebas dari prasangka dan kompleks-kompleks dalam dirinya.
6. Sanggup masuk dalam dunia klien (empati) secara simpatik.
E. Teknik-Teknik Konseling dalam CCT
CCT menempatkan tanggungjawab tifak pada konselor tetapi pada klien. Maka teknik-teknik konselingnyas adalah sebagai berikut:
1. Acceptance (penerimaan)
2. Respect (rasa hormat)
3. Understanding (mengerti, memahami)
4. Reassurance (Menentramkan hati, meyakinkan)
5. Encouragement (dorongan)
6. Limited Questioning (pertanyaan terbatas)
7. Reflection (memantulkan pertanyaan dan perasaan).
A. Latar Belakang
Tokoh teori ini adalah Carl Rogers. Pendapatnya sama dengan makna konseling secara umum, bahwa pemecahan masalah berpusat pada klien, berarti individu sendiri yang harus menyelesaikan masalahnya.
Client Centered Therapy (CCT)
Pandangannya tertuju pada penghargaan martabat manusia.
Menurut Rogers:
1. Hakekat manusia pada dasarnya baik dan penuh kepositipan.
2. Manusia panya kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengontrol diri sendiri.
3. Setiap individu pada dirinya terkandung motor penggerak, yang ciri-cirinya sebagai berikut :
a. Terbuka terhadap pengalaman sendiri dan orang lain.
b. Hidup dengan menempuh jalan dan dalam alam berdasarkan kenyataan
c. Percaya pada diri sendiri walaupun individu sedang bermasalah mengalami gangguan psikis tertentu untuk mewujudkan diri sendiri (self actualization).
4. Setiap individu mempunyai kemampuan beradaptasi dan punya dorongan yang kuat ke arah kedewasaan dan kemerdekaan, dan itu akan terwujud bila konselor dapat menciptakan suasana psikologis yang mempunyai sifat-sifat:
a. Menerima (acceptance) terhadap klien sebagai pribadi yang berharga
b. Konselor mau menerima perasaan seperti apa yang dirasakan klien, tanpa usaha mendiagnosis atau mengubah perasaan tersebut.
c. Bisa menunjukkan empati, bisa mengerti, menghayati dan merasakan sebagai yang dialami klien.
Dengan suasana yang demikian klien akan dapat mengatur dirinya sendiri pada tingkat dasar maupun yang lebih dalam.
Rogers mengemukakan CCT mempunyai prinsip:
1. Menekankan dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri untuk berkembang dan hidup sehat menyesuikan diri.
2. Menekankan pada unsur emosional tidak pada aspek intelektual.
3. Menekankan situasi yang langsung dihadapi saat ini.
4. Menekankan pada hubungan terapeutis (penyembuhan) sebagai pengalaman dalam perkembangan individu.
B. Konsep Dasar
CCT atau non directive counseling mendasarkan diri pada self theory dari Carl Rogers, yang menjelaskan bahwa kepribadian manusia terdiri dari 3 unsur:
1. Organisme
2. Mileau Fenomenal
3. Self
Organisme, merupakan keseluruhan dan kesatuan individu, yang mempunyai sifat-sifat:
a. Mereaksi secara keseluruhan terhadap mileau fenomenal (keseluruhan pengalaman individu).
b. Mempunyai motif dasar yang berfungsi memelihara dan memperkuat dirinya.
c. Dapat menyimbolisasikan atau menolak simbolisasi pengalaman-pengalaman. Sehingga menjadi pengalaman sadar atau tidak sadar.
Mileau Fenomenal
Merupakan keseluruhan pengalaman individu yang sifatnya sadar atau tidak sadar, tergantung pada diberi simbolisasi tidaknya pengalaman itu.
Self
Merupakan bagian yang berdiferensiasi dari lapangan fenomenal.
Self mempunyai sifat-sifat:
1. Self berkembang adanya interaksi antara organisir dengan lingkungan.
2. Self dapat menerima dan menanggapi nilai-nilai dari orang lain dalam bentuk yang telah diubahnya sendiri.
3. Self berusaha mempertahankan konsistensinya.
4. Organisme berbuat dengan cara konsisten dengan self.
5. Pengalaman yang tidak konsisten dengan self diterima sebagai ancaman.
6. Self berubah karena kematangan dan belajar.
Mengenai dinamika unsur dasar kepribadian Rogers menjelaskan dengan 19 buah dalil:
1. Setiap individu dalam dunia pengalaman yang terus berubah dan invidu menjadi sentralnya.
2. Organisisme merespon merespon medasn sesuai dengan pengalaman dan pemahamanya.
3. Organisme mereaksi lapangan fenomenal sebagai suatu keseluruhan yang terorganisasi.
4. Organisme mempunyai kecenderungan dan dorongan dasar untuk merealisasi, memelihara dan mempertahankan pengalaman dirinya.
5. Perilaku pada dasarnya merupakan usaha yang tertuju pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.
6. Suatu emosi menyertai dan memudahkan perilaku yang tertuju pada tujuan
7. Pangkal berpijak yang terbaik dan paling menguntungkan untuk memahami perilaku adalah frame of reference dalam diri individu itu sendiri.
8. Suatu bagian keseluruhan lapangan pengamatan secara berangsur-angsur berdiferensiasi menjadi self.
9. Hasil interaksi dengan lingkungan adalah struktur self terbentuk, terorganisir, fleksibel, tetapi konsisten.
10. Nilai-nilai yang bersatu dengan pengalaman dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur self dalam beberapa hal merupakan nilai-nilai yang dialami oleh organisme/individu.
11. Individu merespon pengalaman yang terjadi dengan dirinya.
12. Tingkah laku yang diterima individu adalah yang konsisten dengan pengertian self.
13. Perilaku individu juga didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan yang tidak disimbolisasi.
14. Penolakan untuk menyadari pengalaman-pengalaman yang berarti akan mengakibatkan maladjusment psikologis.
15. Apabila dalam konsep tentang self, pengalaman tentang sensori dan visceral dari individu disimbolisasikan dan disatukan dalam hubungan yang konsisten dengan self, maka penyesuaian psikologis akan terjadi.
16. Pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur self diterima sebagai ancaman.
17. Pengalaman yang tidak konsisten mungkin muncul kembali, struktur self diperbaiki untuk menerima pengalaman.
18. Bila individu menerima dan memahami orang lain ke dalam dirinya sebagaimana ia memahami organisasinya, ia akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dengan orang lain.
19. Bila individu telah memahami dan menerima lebih banyak dari pengalaman organismenya ke dalam struktur selfnya, maka ia sedang berada dalam proses mengganti sistem nilai-nilai dengan suatu proses penilaian yang terus menerus.
C. Tujuan Konseling
Sesuai dengan konsep dasar CCT, maka tujuan konseling adalah:
1. Memberi kesempatan dan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan-perasannya, berkembang dan terealisasi potensinya.
2. Membantu individu untuk makin sanggup berdiri sendiri dalam mengadakan integrasi dengan lingkungannya.
3. Membantu individu dalam mengadakan perubahan dan pertumbuhan.
Jadi tujuan konseling adalah self-directing dan full functioning dari klien.
D. Hubungan Pertolongan (Helping Relationship)
Kondisi hubungan yang dapat membantu perubahan kepribadian klien antara lain:
1. Ada hubungan psikologis antara konselor dengan klien
2. Adanya pernyataan incongruence (tidak ada saling) oleh klien.
3. Adanya pernyataan congruence oleh konselor.
4. Adanya unconditional positif regard dan pemahan yang empatik dari konselor terhadap klien.
5. Adanya persepsi klien terhadap counselor positif regard (penghargaan) dan pemahaman empatik.
Shertzer dan Stone menambahkan bahwa kualitas yang sangat penting dari hubungan pertolongan adalah:
1. The establishment of warm (kehangat yang menetap).
2. Permissive ettitudes (sikap yang sesuai apa adanya).
3. Accepting climate that permits cilent to explore their self-structure in relation their unique expertences (menerima iklim bahwa perjanjian dengan terbuka yang khusus).
Mengenai proses konseling dengan pendekatan CCT, Rogers berpendapat adanya 3 fase, ialah:
1. Pengalaman akan meredanya ketegangan (tension).
2. Adanya pemaham diri (self understanding).
3. Perencanaan untyuk kehiatan selanjutnya.
Fase-fase ini dikembangkan dan dijabarkan dalam 12 point yang merupakan langkah-langkah konseling, yaitu:
1. Individu (klien) datang sendiri pada klien minta bantuan.
2. Penentuan situasi yang cocok untuk memberikasn bantuan oleh konselor.
3. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan negatif klien.
4. Konselor memberi kebebasan klien untuk mengemukakan masalahnya.
5. Secara berangsur timbul perasaan positif klien.
6. Konselor menerima, mengenal dan memperjelas perasaan positif klien.
7. Timbul pemahaman tentang diri sendiri (self) pada diri klien.
8. Pemahaman yang lebih jelas pada diri klien tentang kemungkinan menentukan kepuasan dan berbuat.
9. Timbul inisiatif pada diri klien untuk berbuat positif.
10. Adanya pemahaman lebih lanjut pada klien terhadap diri sendiri.
11. Timbul perkembangan tindakan yang positif dan integratif pada diri klien.
12. Klien secara berangsur tidak membutuhkan bantuan.
Dari proses konseling tersebut nampak bahwa inisiatif untuk memecahkan masalah tumbuh dari dalam diri klien.
Peranan konselor secara rinci sebagai berikut:
1. Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi dilakukan sendiri oleh klien.
2. Arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
3. Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan apa adanya.
4. Konselor memberikan kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Rogers seorang konselor harus memiliki syarat:
1. Memiliki sensitifitas dalam hubungan insani.
2. Memiliki sikap yang obyektif.
3. Menghormat kemuliaan orang lain.
4. Memahami diri sendiri.
5. Bebas dari prasangka dan kompleks-kompleks dalam dirinya.
6. Sanggup masuk dalam dunia klien (empati) secara simpatik.
E. Teknik-Teknik Konseling dalam CCT
CCT menempatkan tanggungjawab tifak pada konselor tetapi pada klien. Maka teknik-teknik konselingnyas adalah sebagai berikut:
1. Acceptance (penerimaan)
2. Respect (rasa hormat)
3. Understanding (mengerti, memahami)
4. Reassurance (Menentramkan hati, meyakinkan)
5. Encouragement (dorongan)
6. Limited Questioning (pertanyaan terbatas)
7. Reflection (memantulkan pertanyaan dan perasaan).
Langganan:
Postingan (Atom)